Pertambangan rakyat telah lama menjadi denyut nadi ekonomi lokal di banyak pelosok Indonesia. Aktivitas ini bukan hanya menciptakan lapangan kerja, tetapi juga menopang kehidupan ribuan keluarga. Namun, selama ini tambang rakyat kerap berjalan di ruang abu-abu hukum. Untuk mengatasi hal ini, legalisasi melalui skema Wilayah Pertambangan Rakyat (WPR) dan Izin Pertambangan Rakyat (IPR) menjadi solusi yang sah dan berkeadilan.
Legalitas tambang rakyat bukan hanya soal legitimasi, tapi juga tentang pemberdayaan dan perlindungan. NTB, dengan segala potensi sumber daya tambangnya, memiliki peluang besar untuk menjadikan sektor ini sebagai motor penggerak ekonomi lokal—asal didukung kebijakan yang progresif dan implementasi yang konkret.
Bukti dari Daerah Lain: Dampak Nyata Legalisasi Tambang Rakyat
Dua daerah yang bisa menjadi cermin bagi NTB adalah Kabupaten Mimika di Papua Tengah dan Provinsi Bangka Belitung.
Di Mimika, kehadiran tambang yang dikelola secara legal seperti PT Freeport Indonesia pasca perubahan skema menjadi IUPK telah membawa lonjakan besar pada pendapatan daerah dan kesejahteraan masyarakat. PDRB per kapita meningkat hampir dua kali lipat dalam empat tahun, dan kontribusi ke APBD mencapai triliunan rupiah.
Sementara di Bangka Belitung, meski belum seluruh blok WPR diikuti dengan penerbitan IPR, langkah penetapan WPR itu sendiri telah membuka ruang legal bagi masyarakat. Pemerintah setempat mencatat manfaat besar: biaya operasi ilegal hilang, pendapatan masyarakat meningkat, dan fiskal daerah menjadi lebih kuat. Ini adalah wujud nyata dari korelasi antara legalitas, kesejahteraan, dan kestabilan sosial.
NTB: Potensi Besar, Tapi Masih Tertahan
NTB sebenarnya bukan ketinggalan dalam niat. Provinsi ini sudah memiliki Perda IPERA dan telah mengusulkan 60 blok WPR, dengan 16 blok di antaranya sudah disahkan pemerintah pusat. Sayangnya, langkah berikutnya—yakni penerbitan IPR, terutama lewat koperasi—masih tersendat.
Padahal, kawasan-kawasan seperti Sekotong, Dompu, Sumbawa, dan Bima dikenal menyimpan kekayaan alam emas, tembaga, hingga batuan. Tanpa legalitas, tambang rakyat tetap berada dalam jeratan kerentanan: rawan konflik, rendah keselamatan kerja, dan nihil kontribusi resmi terhadap daerah.
Koperasi Tambang: Jalan Tengah yang Solutif
Skema koperasi tambang rakyat sesungguhnya adalah formula cerdas yang menggabungkan legalitas, demokratisasi ekonomi, dan pemberdayaan komunitas. Dengan IPR atas nama koperasi, akses legal menjadi lebih mudah dan efisien. Pemerintah juga lebih mudah melakukan pembinaan, pengawasan, dan penarikan retribusi serta pajak daerah.
Koperasi juga bisa menjadi kanal edukasi penting bagi para penambang mengenai aspek keselamatan kerja, perlindungan lingkungan, dan pengelolaan usaha yang berkelanjutan. Dengan pendampingan tepat, koperasi tambang bisa menjadi ujung tombak pertumbuhan ekonomi akar rumput di NTB.
Rekomendasi Kebijakan: Saatnya NTB Bergerak Cepat
Melihat contoh sukses dari daerah lain dan kondisi riil di lapangan, NTB harus segera mengambil langkah-langkah konkret:
- Percepat penerbitan IPR untuk blok-blok WPR yang sudah ditetapkan, khususnya melalui skema koperasi.
- Bangun kemitraan strategis antara koperasi rakyat dan pelaku industri tambang besar agar ada transfer teknologi, manajemen, dan standar lingkungan.
- Siapkan regulasi teknis dan sistem monitoring digital agar pengawasan tambang rakyat berjalan efektif.
- Masukkan sektor tambang rakyat legal dalam dokumen perencanaan pembangunan daerah, termasuk dalam indikator ekonomi, penanggulangan kemiskinan, dan PAD.
Jangan Sampai NTB Ketinggalan
Legalitas tambang rakyat bukan semata izin, melainkan tonggak menuju keadilan ekonomi. Pengalaman Mimika dan Babel menunjukkan bahwa legalisasi, bila dilakukan melalui koperasi dan dengan pengawasan yang baik, bisa menjadi sumber pertumbuhan ekonomi lokal sekaligus memperkuat keuangan daerah.
NTB tidak kekurangan sumber daya. NTB tidak kekurangan inisiatif. Tapi NTB membutuhkan keberanian birokrasi untuk mempercepat. Maka, penerbitan izin koperasi tambang rakyat bukan lagi opsional—melainkan sebuah urgensi pembangunan.
Mataram, 16 Juli 2025
Ardiansyah
Direktur NasPol NTB