Kabupaten Bima yang terletak di sisi timur Nusa Tenggara Barat merupakan daerah dengan populasi lebih kurang lima ratus ribu penduduk yang mayoritas bekerja sebagai petani. Hampir semua lahan di Kabupaten Bima dikelola untuk usaha pertanian seperti jagung, bawang, padi, dan lain-lain.
Beberapa tahun terakhir, mulai dari 2022 hingga 2024, tidak ada perubahan signifikan pada omset pendapatan pertanian. Sebaliknya, beberapa petani mengalami kerugian dan kesulitan membayar utang bank yang digunakan sebagai modal usaha pertanian. Misalnya, petani di Kecamatan Wawo rata-rata meminjam di bank sekitar Rp 30.000.000 dengan status Kredit Usaha Rakyat dan bunga yang cukup meringankan. Namun, setelah panen dan mengembalikan pinjaman, mereka kembali meminjam untuk musim berikutnya. Siklus ini terus berulang, menunjukkan masalah pada perbandingan modal usaha dengan hasil yang tidak sebanding serta prinsip pengelolaan hasil yang tidak teratur.
Menyalahkan pemerintah bisa menjadi solusi separuh-separuh karena hukum ekonomi berlaku: ketika barang banyak dan permintaan sedikit, harga akan menurun. Bahkan jika Pemerintah Daerah, dengan Bupati Hj. Indah Damayanti Putri beserta jajarannya, bersama DPRD Kabupaten Bima membuat kebijakan ekspor, apakah ini akan memberikan perubahan signifikan? Lalu, caranya bagaimana?
Sebagai solusi konkret untuk Kabupaten Bima, mendorong semua desa untuk mengembangkan program agrowisata dapat menjadi alternatif untuk merubah paradigma masyarakat agar tidak terpaku pada usaha pertanian musiman dan terus mengutang di bank. Agrowisata merupakan kegiatan wisata yang melibatkan lahan pertanian sebagai daya tarik wisatawan. Desa Riamau di Kecamatan Wawo, dengan lokasinya yang strategis dan perbukitan, dapat dijadikan bahan uji coba untuk program ini.
Desa Riamau memiliki potensi wisata yang menarik, seperti air terjun, puncak Mpori Parangga, Wadu Nocu, serta kebun kemiri sebagai maskot utama. Program pelatihan untuk mengembangkan paradigma dan sumber daya manusia bisa dilakukan di sini. Jika Pemerintah Desa tidak mampu, Pemerintah Daerah harus turun tangan.
Konsepnya sederhana: bawa ribuan bibit dan bentuk tim pengendali sebagai rencana tindak lanjut. Bukti kesuksesan sudah ada, seperti petani yang mendapatkan omset menggiurkan dari alpukat dan buah naga yang ditanam di pekarangan rumah. Dengan harga Rp 12.000/Kg, satu pohon alpukat bisa menghasilkan hingga Rp 2.000.000. Buah naga juga memberikan hasil yang baik tanpa membutuhkan modal besar seperti penggunaan pupuk dan pestisida.
Jika ini dikembangkan dan dibuat konsep “petik sendiri” bagi wisatawan, lahan gundul akan berubah menjadi kebun hijau. Masyarakat pasti akan makmur, dan program ini siap untuk di-branding agar menarik minat lebih banyak orang.
Penulis : Ruslan
Tokoh Muda Bima