Lombok Barat – Kasus dugaan tindakan asusila yang dilakukan oleh seorang tokoh agama (Tuan Guru AF) terhadap puluhan santriwati di sebuah pondok pesantren (ponpes) di Lombok Barat terus menuai polemik di tengah masyarakat.
Desakan agar ponpes tersebut ditutup pun semakin menguat.
Menanggapi hal ini, H. Husnan Wadi SH, anggota DPRD Lombok Barat sekaligus Ketua Komisi II, menyampaikan pandangannya.
Ia menegaskan bahwa penutupan ponpes secara keseluruhan bukanlah solusi yang tepat dan justru akan menambah jumlah korban.
“Korban dalam kasus ini bukan hanya para santriwati yang menjadi korban tindakan asusila, tetapi juga seluruh santri dan santriwati yang saat ini sedang menimba ilmu di ponpes tersebut. Mereka juga perlu mendapatkan perhatian,” ujar Husnan Wadi dalam keterangannya, Kamis (24/4/2025).
Politisi dari Partai Perindo ini menekankan bahwa kasus dugaan asusila tersebut adalah murni perbuatan oknum, bukan tindakan kolektif dari lembaga pendidikan. Oleh karena itu, pihak yang harus bertanggung jawab dan mendapatkan hukuman setimpal adalah pelaku.
Husnan Wadi menyayangkan adanya pernyataan dari anggota DPRD Provinsi yang dinilai tendensius dan mendorong penutupan total ponpes. Menurutnya, langkah tersebut bukanlah solusi, melainkan akan menambah penderitaan dan kesengsaraan bagi para santri yang tidak bersalah.
“Kami tidak mentolerir perbuatan pelaku dan kami mendorong Aparat Penegak Hukum (APH) untuk menyelesaikan kasus ini sesuai dengan Standar Operasional Prosedur (SOP), hukum, dan aturan yang berlaku. Soal hukuman, tentu kita semua berharap yang maksimal sesuai dengan perbuatan pelaku,” tegasnya.
Namun, terkait keberlangsungan lembaga pendidikan, Husnan Wadi berpendapat bahwa sebaiknya ponpes tidak ditutup. Proses pendidikan di ponpes tersebut masih berjalan dan tidak semua pihak terlibat dalam perbuatan yang dilakukan oleh AF.
Lebih lanjut, Husnan Wadi memberikan beberapa masukan terkait pengelolaan ponpes ke depan. Menurutnya, ponpes tidak boleh terlalu eksklusif, melainkan harus inklusif dan berinteraksi dengan masyarakat sekitar. Ia mencontohkan kegiatan seperti salat Jumat bersama atau gotong royong dengan warga sekitar yang tidak akan menjadi masalah.
Selain itu, ia juga menyarankan agar tata letak asrama santri putri dipisahkan agak jauh dari asrama santri putra.
Pengelola asrama pun sebaiknya disesuaikan, di mana asrama putri tidak dipegang oleh ustadz, melainkan pengelola perempuan.
“Meskipun perilaku kejahatan memang bukan hanya karena niat, tetapi juga bisa karena adanya kesempatan, oknum pelaku harus mempertanggungjawabkan perbuatannya,” pungkas Husnan Wadi.