Mataram – Bisnis tambak udang di Nusa Tenggara Barat (NTB) ternyata menyimpan realitas kelam. Aliansi Pemuda Aktivis (ALPA NTB) menggelar Focus Group Discussion (FGD) bertajuk “Dampak Lingkungan dan Kemasyarakatan Bisnis Tambak Udang di Tanah Bumi Gora NTB” di Kafe Meeino Working, Gomong, Mataram, Rabu (26/3/2025). Diskusi ini mengungkap fakta mencengangkan: hampir semua tambak udang di NTB bermasalah secara hukum dan merusak lingkungan.
Dengan dihadiri sekitar 100 peserta dari kalangan aktivis, mahasiswa, dan pemerhati kebijakan publik, diskusi ini menjadi ajang pembongkaran praktik ilegal dan dugaan kongkalikong dalam bisnis tambak udang yang bernilai triliunan rupiah.
Contents
Tambak Udang NTB: Bisnis Besar, Dampak Besar
Direktur ALPA NTB, Herman, SH, menegaskan bahwa bisnis tambak udang di NTB bukan sekadar soal ekonomi, tetapi juga bencana ekologis dan sosial. Ia menyoroti salah satu kasus di Alas Barat, Sumbawa, di mana tambak udang menyebabkan tertutupnya Daerah Aliran Sungai (DAS), sehingga lahan warga terkikis dan tergenang air.
“Air yang seharusnya mengalir ke laut kini merendam lahan warga. Ini bukan hanya kelalaian, tapi perampasan hak masyarakat!” tegas Herman.
Dugaan Ilegalitas: Hampir Semua Tambak Bermasalah!
Yang lebih mengejutkan, Didik Mahmud Gunawan Hadi, ST., M.Si, dari Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan (DLHK) NTB, mengungkap bahwa hampir semua tambak udang di NTB tidak memiliki Surat Layak Operasi (SLO).
“Secara SOP, ini berarti mayoritas tambak di NTB ilegal!” ungkapnya.
Hal ini diperkuat oleh pernyataan akademisi Taufan, SH, yang menegaskan bahwa pembangunan tambak udang cacat hukum karena tidak melalui Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL).
“Ini permainan oknum! Ada dominasi pengusaha besar yang mengabaikan regulasi dan merusak lingkungan tanpa konsekuensi!” katanya.
Kritik serupa datang dari Taufik Hidayat, Ketua KNPI NTB, yang menuding adanya permainan dalam penerbitan izin tambak udang.
“Mayoritas pemilik tambak adalah pengusaha besar, sementara masyarakat sekitar justru jadi korban! Ini jelas ketidakadilan struktural!” tegasnya.
Bisnis Tambak Udang: Triliunan Rupiah, tapi Ke Mana Uangnya?
Data dari Ketua LSM IB PEKAT NTB, Ziat, mengungkap skala bisnis tambak udang yang mengejutkan. Dengan luas tambak 5.000 hektare di NTB, perhitungan kasarnya menunjukkan potensi keuntungan triliunan rupiah per siklus panen!
1 hektare tambak menghasilkan 68 ton udang
Harga jual rata-rata Rp100.000/kg
1 hektare = Rp6,8 miliar
200 hektare = Rp1,3 triliun
5.000 hektare? Minimal Rp2 triliun!
“Dengan angka sebesar ini, seharusnya Pendapatan Asli Daerah (PAD) dari bisnis tambak minimal Rp2 triliun! Tapi ke mana uangnya? Masyarakat tidak merasakan manfaatnya!” ujar Ziat.
Tak hanya itu, dana CSR untuk warga sekitar pun nyaris tidak terdengar.
“Minimal harus ada beasiswa bagi anak-anak di sekitar tambak, atau program pemberdayaan masyarakat. Tapi, nihil!” tambahnya.
Bisnis Gurita yang Kebal Hukum?
Dengan keuntungan fantastis, regulasi lemah, dan dampak sosial-lingkungan yang nyata, muncul pertanyaan besar: Apakah bisnis tambak udang di NTB terlalu ‘kebal’ untuk disentuh hukum?
“Masyarakat butuh kepastian! Apakah bisnis tambak ini akan tetap menjadi ladang emas bagi segelintir pihak, atau ada keberpihakan kepada rakyat dan lingkungan? Ini ujian bagi pemerintah!” tutup Ziat.
Publik kini menunggu tindakan konkret dari pemerintah dan aparat penegak hukum. Apakah skandal ini akan terus dibiarkan, atau akan ada langkah nyata untuk mengembalikan hak masyarakat dan menyelamatkan lingkungan NTB?