Mataram – Gelombang desakan agar Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) membongkar praktik politik uang dalam pemilihan Ketua Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI kian membesar. Rabu siang, 25 September 2025, Koalisi Pemuda dan Rakyat Nusa Tenggara Barat kembali turun ke jalan, menggelar aksi teaterikal di depan Kantor Sekretariat DPD RI Perwakilan NTB, Jalan Airlangga Tanah Haji, Kota Mataram.
Aksi jilid dua itu bukan demonstrasi biasa. Sepanjang 200 meter kain spanduk terbentang di jalanan, berisi kecaman terhadap dua senator asal NTB yang dituding menerima suap. Mereka adalah Muhammad Rifky Farabi (MRF) dan Mirah Midadan Fahmid (MMF).
Menurut koordinator aksi, Saidin Alfajari, dugaan keterlibatan dua anggota DPD RI dari NTB ini bukan rumor. “Data yang kami terima menunjukkan ada aliran dana yang masuk ke mereka. Aksi ini kami lakukan untuk mendesak KPK segera membuka kasus suap pemilihan Ketua DPD RI secara terang benderang,” ujarnya.
Jejak Uang di Senayan
Kasus ini pertama kali mencuat lewat laporan Fithrat Irfan, mantan staf DPD RI, ke KPK. Irfan menyebut setidaknya 95 anggota DPD mendapat uang suap untuk memenangkan salah satu kandidat Ketua DPD periode 2024–2029. Nilainya sekitar 13 ribu dolar AS per orang. Skemanya: 5 ribu dolar untuk pemilihan Ketua DPD, dan 8 ribu dolar lainnya untuk pemilihan Wakil Ketua MPR RI dari unsur DPD.
Modusnya sederhana namun rapih: amplop berisi dolar disalurkan door to door ke ruang kerja para senator. Irfan mengaku mengetahui langsung pola distribusi uang tersebut.
Dari data yang beredar, sebaran penerima suap mencakup hampir seluruh daerah. Papua disebut sebagai wilayah dengan jumlah penerima terbanyak, 18 orang. Disusul Sulawesi (14), Kalimantan (12), Sumatera (7), Kepulauan Riau dan Riau (7), Jawa Barat-Banten (5), NTT dan NTB (5), Jawa Tengah (5), Maluku (4), Bengkulu (2), Jawa Timur (1), dan DKI Jakarta (1).
“Skandal ini bukan hanya soal dua nama dari NTB, tapi menyangkut wajah DPD secara keseluruhan. Kalau benar, hampir semua provinsi tercoreng,” kata Saidin.
Luka Politik dari NTB
Koalisi Pemuda dan Rakyat NTB menilai, dugaan keterlibatan Rifky dan Mirah mencederai martabat daerah. NTB, yang tengah berupaya membangun citra politik bersih dan demokratis, kini ikut terseret dalam pusaran praktik suap di Senayan.
“Jujur kami malu. Mereka seharusnya membawa nama baik NTB di tingkat nasional, bukan justru memperdagangkan suara,” kata Saidin.
Koalisi juga menantang kedua senator itu tampil ke publik menjelaskan posisi mereka. “Kalau memang tidak menerima, sampaikan secara terbuka. Jangan hanya diam. Karena diam itu menguatkan dugaan,” ujarnya.
Jalan Panjang Desakan
Ini adalah jilid kedua aksi mereka. Menurut rencana, gelombang protes akan terus digelar hingga KPK mengumumkan perkembangan penyidikan. Mereka bahkan menyiapkan aksi bersama aktivis dari provinsi lain. “Bongkar dari NTB untuk Indonesia. Kami mengajak semua aktivis di daerah lain bersuara, karena kasus ini melibatkan senator hampir di semua provinsi,” kata Saidin.
Bagi Koalisi, perlawanan ini bukan semata soal NTB, melainkan upaya memulihkan kehormatan lembaga negara. “DPD seharusnya menjadi representasi daerah, bukan representasi kepentingan transaksional,” tambahnya.
KPK sejauh ini belum memberi keterangan resmi atas laporan Irfan maupun tuntutan yang terus mengemuka dari NTB. Namun publik menunggu, apakah lembaga antirasuah berani menelisik lebih dalam hingga menyentuh ruang kerja para senator di Senayan.
“Jika KPK tidak bergerak cepat, publik akan menganggap DPD RI sebagai lembaga yang rusak dari dalam. Dan NTB tidak rela ikut dicatat dalam sejarah kotor itu,” tegas Saidin.