Jadi Korban Praktik Nominee di Kuta Lombok, Investor Asal Australia Rugi Rp10 Miliar

41
×

Jadi Korban Praktik Nominee di Kuta Lombok, Investor Asal Australia Rugi Rp10 Miliar

Sebarkan artikel ini
 

 

Mataram | Lombok Fokus – Seorang investor asal Australia, Cary Trend Graetz, mendatangi kantor hukum I Gusti Putu Ekadana & Associates di Jalan Anggrek, Kecamatan Selaparang, Kota Mataram, Kamis (3/7/2025). Kedatangannya bukan tanpa sebab. Ia mengaku menjadi korban praktik perjanjian pinjam nama atau nominee yang melibatkan dua warga lokal saat berinvestasi di kawasan wisata Kuta, Kabupaten Lombok Tengah.

 

“Saya sangat sedih dan stres atas masalah ini,” ungkap Cary dengan nada kecewa dan wajah memerah saat ditemui wartawan.

 

Cary mengaku telah tinggal di Indonesia selama dua dekade dan aktif mencari peluang bisnis di Kuta, Lombok Tengah. Keinginannya untuk membangun bisnis vila berujung petaka setelah terjebak dalam perjanjian nominee yang difasilitasi oleh dua orang bernama Putu dan Komang, melalui notaris yang disebut-sebut direkomendasikan oleh mereka.

 

Perjanjian pertama ditandatangani pada Februari 2012 dan dilanjutkan pada Desember di tahun yang sama. Cary menyebut total kerugiannya mencapai Rp10 miliar atau setara dengan 1 juta dolar Australia.

 

“Lokasi pertama di Bukit Prabu, sekitar 1.237 meter persegi, dan diatasnamakan bapak dari rekan saya,” jelasnya.

 

Saat bisnis vila mulai berjalan dan ia mendapatkan pelanggan, rekannya justru enggan menyerahkan sertifikat lahan. Bahkan, mereka menuntut pembagian keuntungan sebesar 50 persen. Ketika Cary menolak, kontak pun diputus sepihak dan lahan yang dibeli dengan namanya sendiri diambil kembali dengan dalih warisan keluarga.

 

Cary mengaku tidak pernah diberi penjelasan bahwa praktik nominee adalah bentuk pelanggaran hukum. Ia merasa ditipu dan tidak mendapatkan informasi yang cukup dari pihak notaris maupun rekan bisnisnya terkait regulasi investasi untuk Warga Negara Asing (WNA) di Indonesia.

 

“Saya kira semuanya legal. Mereka tidak menjelaskan bahwa ini melanggar hukum,” keluhnya.

 

Kuasa hukumnya, Gusti Vhysnu Punar, menyebut bahwa praktik nominee yang dialami kliennya merupakan bentuk penyelundupan hukum. Ia menegaskan bahwa WNA memang tidak diperkenankan memiliki hak milik atas tanah di Indonesia, sesuai UU Agraria tahun 1960. Namun negara telah menyediakan jalan legal bagi investor asing melalui pembentukan PT Penanaman Modal Asing (PMA).

 

“Carry ini sudah punya PT PMA, tapi malah diperdaya. Perjanjian nominee itu cacat hukum dan bisa batal demi hukum karena melanggar pasal 1320 KUH Perdata,” ujarnya.

 

Gusti juga menyoroti keterlibatan notaris dalam kasus ini. Ia menyayangkan jika pejabat negara justru melegalkan transaksi yang bertentangan dengan hukum.

 

Sementara itu, pemilik kantor hukum, I Gusti Putu Ekadana, menilai kejadian ini mencoreng citra NTB sebagai daerah tujuan investasi. Ia mendorong agar Pemprov NTB, khususnya Gubernur, segera turun tangan.

 

“Ini akan menjadi preseden buruk bagi iklim investasi jika tidak disikapi serius. Jangan sampai NTB ikut-ikutan seperti di Bali, banyak investasi ilegal dan dark number,” tegasnya.

 

Ekadana juga menilai, praktik-praktik seperti ini bisa merusak kepercayaan investor asing yang ingin berinvestasi secara resmi melalui jalur PT PMA.

 

“Kalau seperti ini, siapa yang berani investasi? Negara sudah keluarkan anggaran besar untuk promosi, tapi lapangan masih gelap. Gubernur harus hadir sebagai pembina notaris dan pelindung investor,” ujarnya.

 

Ia menyarankan agar dilakukan audiensi langsung antara Cary dengan Gubernur NTB, demi memastikan bahwa investasi asing di NTB tetap berjalan sesuai koridor hukum, dan memberikan rasa aman bagi para investor yang datang dengan itikad baik.

 

Berlangganan Yes No thanks