Lombok Tengah, Lombok Fokus — Program Xpose Uncensored yang ditayangkan Trans7 pada 13 Oktober 2025 menuai sorotan tajam dari berbagai kalangan, khususnya komunitas pesantren. Tayangan tersebut menyoroti kehidupan pondok pesantren dan sosok KH Anwar Manshur, pendiri Pesantren Hidayatul Mubtadiat Kompleks Lirboyo, dengan narasi yang dinilai tidak proporsional dan bernada negatif.
Sejumlah potongan video dalam program itu menampilkan tradisi penghormatan santri kepada kiai yang sejatinya merupakan bagian dari adab dan budaya pesantren namun justru disorot secara keliru dan dianggap sebagai bentuk eksploitasi anak serta feodalisme.
Tokoh pesantren Lombok Tengah, TGH. Lalu Mala Sar’i, yang juga cucu Datoq Lopan sekaligus figur Nahdlatul Ulama (NU) Lombok Tengah, menyatakan keprihatinan dan kekecewaan mendalam atas cara tayangan tersebut menggambarkan dunia pesantren.
“Sebagai orang yang lahir dan dibesarkan di lingkungan pesantren, saya mengecam pemberitaan yang menilai pesantren sebagai tempat eksploitasi atau praktik feodalisme. Pandangan seperti itu jelas keliru dan menyesatkan,” tegasnya di Praya, Rabu (15/10/2025).
Menurut TGH Mala Sar’i, kehidupan di pesantren dibangun atas dasar cinta, penghormatan, dan pengabdian santri kepada guru dan kiai, bukan paksaan atau tekanan sebagaimana yang tergambar dalam tayangan tersebut.
“Apa yang kami lakukan di pesantren adalah refleksi dari rasa hormat dan ketulusan. Itu bagian dari pendidikan moral dan akhlak, bukan penindasan,” ujarnya.
Ia menegaskan, tradisi pesantren sudah berlangsung selama berabad-abad dan menjadi fondasi kuat dalam membentuk karakter bangsa. Karena itu, ia mengingatkan masyarakat luar agar tidak mudah menilai tanpa memahami nilai-nilai spiritual yang hidup di pesantren.
“Bagi mereka yang tidak memahami suasana kebatinan dunia pesantren, sebaiknya tidak sembarangan berkomentar miring terhadap guru dan kiai. Pesantren adalah lembaga yang menanamkan cinta, kesederhanaan, dan keikhlasan,” sambungnya.
TGH Mala Sar’i juga berharap pihak Trans7 dapat memberikan klarifikasi dan permintaan maaf terbuka atas tayangan tersebut. Ia menilai media seharusnya menjadi alat pendidikan publik yang mencerdaskan, bukan justru memperkeruh pemahaman masyarakat terhadap lembaga keagamaan.
“Media harusnya berperan sebagai sarana edukasi dan perekat bangsa, bukan pembuat stigma negatif terhadap pesantren yang selama ini menjadi benteng moral negeri ini,” tutupnya.





