LombokFokus|Batulayar – Warga di perbukitan Dusun Duduk, Kecamatan Batulayar, akhirnya angkat suara soal kebisingan yang terus menghantui malam-malam mereka. Melalui kuasa hukum, mereka menyampaikan keluhan panjang yang selama ini terpendam—bukan karena takut bersuara, tapi karena belum juga ada solusi nyata.
Selama berbulan-bulan, musik dangdut dan karaoke dari warung-warung di pesisir Pantai Duduk diputar tanpa henti, mulai pagi hingga larut malam. Bukan hanya mengganggu istirahat, suara itu juga sampai bergema ke bukit, masuk ke rumah-rumah, bahkan terasa getarannya.
“Ini bukan masalah satu-dua orang. Ini suara dari puluhan warga. Kami satu komunitas yang sudah sangat lelah dengan kebisingan ini,” ungkap warga yang ikut menandatangani petisi, Kamis (7/8/2025).
Warga mengaku telah menempuh jalur resmi sejak April 2025. Mereka menyampaikan keluhan lisan ke kepala dusun, lalu mengirim dua surat resmi ke kepala desa, bahkan menggalang dua petisi berisi tanda tangan puluhan warga perbukitan. Namun, sayangnya, tak satu pun yang membuahkan hasil nyata.
Mereka pun kecewa dengan pemberitaan, yang seolah-olah hanya menyorot satu warga sebagai pengadu. Padahal, kata mereka, semua ini adalah gerakan bersama.
Mediasi pun sempat digelar, tapi lagi-lagi menuai tanda tanya. Hanya satu warga yang diundang mediasi, dari puluhan penandatangan petisi.
“Kenapa hanya satu yang diajak? Kami ini komunitas, bukan individu. Dan yang kami minta pun sederhana, hentikan musik keras seharian penuh. Itu saja,” ujar warga lain yang namanya tidak ingin dimediakan.
Seorang warga yang datang dalam mediasi pertama bahkan mengaku merasa diintimidasi. Dia datang seorang diri, sementara pemilik warung membawa belasan orang.
“Itu forum mediasi atau forum tekanan? Rasanya tak adil, dan lebih menyedihkan lagi, setelah mediasi, musik malah makin kencang,” ucapnya.
Bukti paling mengejutkan datang dalam bentuk video. Dalam klip yang diserahkan warga ke media, terlihat seorang pemilik warung merekam dirinya bersama petugas Satpol PP, lalu setelah petugas pergi, ia menghadapkan speaker ke arah bukit, sambil merekam video selfie dan memutar musik karaoke keras.
Bahkan, ia sempat menunjuk ke arah lampu-lampu rumah warga di bukit, dan mengajak pemilik warung lain untuk ikut bergabung.
Dituturkan, salah satu pemilik warung sempat meragukan jika suara musik terdengar sejauh 1,5 kilometer. Namun warga cepat menanggapi.
“Coba dia tidur semalam di rumah kami. Dari jendela, warung-warung itu kelihatan jelas, dan suara bass itu bisa merambat jauh, apalagi kalau tidak ada penghalang. Ini bukannya tidak mungkin, ini fakta sehari-hari,” beber beberapa warga.
Warga menyatakan kalau mereka mendukung UMKM dan pariwisata lokal, tapi tidak dengan mengorbankan hak mereka atas ketenangan dan rasa aman.
“Kami tak menolak usaha, tapi kami juga berhak atas ketenangan. Jangan sampai korban harus terus berdamai dengan pelanggar,” tutur warga dengan nada kecewa.
Kini, warga resmi menunjuk Law Office Dr. I Gede Sukarmo, S.H., M.H. & Rekan sebagai kuasa hukum. Mereka meminta penegakan hukum, bukan hanya janji mediasi berikutnya.
“Pasal 503 KUHP sudah jelas. Ini gangguan ketertiban umum. Kenapa masih harus menunggu lagi?” ujar kuasa hukum warga.
Sampai saat ini, kebisingan belum juga mereda, dan warga perbukitan masih terus menanti—bukan musik, tapi keadilan yang nyata.(djr)







