MATARAM – Kecamatan Wera, sebuah wilayah yang berada di bagian timur Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB), kini menjadi sorotan publik setelah dilanda bencana banjir bandang yang begitu dahsyat pada Februari 2025. Kecamatan ini terdiri dari 14 desa dengan jumlah penduduk mencapai 532.677 jiwa dan luas wilayah 3.405,63 km². Sebanyak 90 persen warganya menggantungkan hidup pada sektor pertanian.
Namun, sejak banjir melanda, wajah Wera berubah total. Ribuan hektare sawah dan ladang hanyut diterjang arus deras. Puluhan rumah hilang disapu banjir. Delapan orang dinyatakan meninggal dunia, dan hingga kini, lima korban masih belum ditemukan jasadnya.
Bencana tersebut bukan hanya meninggalkan kerusakan fisik, tetapi juga luka batin yang mendalam. Masyarakat kehilangan mata pencaharian, anak-anak tidak bisa bersekolah dengan normal, dan trauma masih terasa hingga hari ini.
Kaya Sumber Daya, Namun Rapuh di Hadapan Bencana
Selama ini, Kecamatan Wera dikenal sebagai daerah kaya sumber daya alam. Pertanian menjadi sektor utama penggerak ekonomi lokal. Hamparan sawah hijau, hasil laut melimpah, hingga panorama pantai dan bukit yang eksotis membuat Wera kerap disebut sebagai “mutiara timur NTB”.
Namun, kekayaan itu seakan tidak berarti ketika bencana datang. Kurangnya mitigasi bencana, lemahnya infrastruktur, dan ketidaksiapan pemerintah daerah membuat masyarakat menjadi korban paling rentan. Inilah yang kemudian memicu kekecewaan mendalam.
Aliansi Mahasiswa Wera Menggugat: Suara Rakyat yang Tersisih
Melihat lambannya penanganan, sekelompok mahasiswa asal Wera yang tergabung dalam Aliansi Mahasiswa Wera Menggugat (AMWM) Mataram turun tangan. Mereka menggelar aksi demonstrasi di Mataram untuk menuntut tanggung jawab Pemerintah Provinsi NTB.
Dalam pernyataan sikapnya, AMWM menegaskan tiga tuntutan utama:
• DPRD NTB segera mengalokasikan anggaran dalam APBD-P 2025 agar penanganan bencana bisa berjalan cepat dan tepat sasaran.
• Gubernur NTB segera merealisasikan janji untuk korban banjir di Kecamatan Wera.
• Pemerintah Provinsi NTB memprioritaskan penanganan terhadap kejadian tak terduga seperti banjir dan gempa bumi.
Koordinator aksi, Da’i Bahtiar, menegaskan bahwa persoalan ini bukan hanya soal kerusakan materi, melainkan soal masa depan masyarakat.
“Wera adalah lumbung pangan. Jika pertaniannya hancur, maka ekonomi NTB juga akan terguncang. Pemerintah jangan tutup mata. Ini soal hidup dan mati masyarakat kami,” ujarnya lantang.
Pemerintah Provinsi: Janji, Tapi Belum Ada Aksi Nyata
Menanggapi tuntutan mahasiswa, Lalu Moh. Faozal, Pj Sekda NTB, memberikan klarifikasi panjang. Ia menyebut bahwa penanganan bencana sudah masuk agenda, namun realisasi masih menunggu proses administrasi APBD Perubahan 2025.
“Akan dikerjakan oleh Pemkab, tinggal menunggu waktunya. Ada sekitar Rp500 juta yang sudah dialokasikan melalui anggota DPRD dapil setempat. Namun, pekerjaan baru bisa efektif pertengahan Oktober 2025,” kata Faozal.
Ia juga menegaskan bahwa inspektorat provinsi telah turun ke lapangan untuk mengecek pekerjaan yang dilakukan BPBD dan memastikan tidak ada penyimpangan.
“Kita sudah siapkan mekanisme. Kalau ada pekerjaan yang tidak sesuai, pasti ada pihak yang bertanggung jawab,” tambahnya.
Meski demikian, masyarakat menilai jawaban itu belum menjawab kebutuhan mendesak warga yang masih hidup dalam kondisi serba kekurangan.
Ada pun jumlah korban hilang sementara 7 orang. Di antaranya 6 orang Desa Nanga Wera dan 1 orang dari Desa Wora.
“Jumlah kerusakan 12 unit rumah, 7 unit rumah panggung hanyut dan 5 unit rumah rusak ringan. Fasilitas pendidikan masih proses pendataan,” kata Kepala Pelaksana Badan Penanggulangan Bencana Daerah Provinsi Nusa Tenggara (BPBD NTB) Ahmadi.
Dampak kerusakan lainnya terdapat 3 unit jembatan terputus. Adapun lokasi jembatan yang longsor yakni Jembatan jalur Kolo, Jembatan Sapui dan Jembatan Ujung Kalate (Penghubung Kota Bima-Ambalawi), Jembatan Tololai (Penghubung Wera-Ambalawi).
AMWM: Janji Harus Jadi Bukti
Bagi AMWM, perjuangan tidak akan berhenti pada aksi demonstrasi semata. Mereka berencana mengawal terus janji pemerintah hingga benar-benar terealisasi.
“Kami tidak ingin lagi ada janji kosong. Korban banjir butuh rumah, petani butuh modal, anak-anak butuh sekolah yang aman. Jika pemerintah abai, kami siap turun lagi dengan aksi yang lebih besar,” tegas Da’i Bahtiar.
Hingga akhir September 2025, warga Wera masih menunggu kepastian. Perbaikan rumah belum berjalan, lahan pertanian belum bisa difungsikan, dan bantuan ekonomi masih terbatas.
Sementara itu, musim hujan baru diprediksi datang kembali pada November. Ketakutan pun muncul: apakah bencana serupa akan kembali terjadi?
Kisah Wera adalah potret nyata rapuhnya penanganan bencana di daerah. Kekayaan sumber daya alam dan peran strategisnya dalam perekonomian NTB tidak cukup melindungi masyarakat ketika bencana datang.
Aliansi Mahasiswa Wera Menggugat menjadi corong suara rakyat, menuntut keadilan dan aksi nyata dari pemerintah. Namun hingga kini, yang ada baru sebatas janji dan rencana.
Masyarakat Wera menunggu, dengan harapan bahwa tragedi Februari 2025 tidak sekadar menjadi catatan sejarah kelam, tetapi juga titik balik untuk lahirnya kebijakan bencana yang lebih adil, cepat, dan berpihak pada rakyat kecil.