LombokFokus|Mataram – Persidangan kasus dugaan korupsi yang menyeret nama PT. Bliss Pembangunan Sejahtera (BPS), kembali menghadirkan momen emosional. Mantan Direktur Utama PT. Bliss, Isabel Tanihaha, menyampaikan pembelaannya langsung di hadapan majelis hakim. Dengan suara tegas namun tetap menahan haru, Isabel menyebut jika dirinya hanyalah “dikurung dalam stigma koruptor” tanpa bukti nyata.
“Majelis hakim yang mulia, izinkan saya berbicara bukan hanya sebagai seorang terdakwa, tetapi sebagai seorang manusia. Bukti yang dihadirkan dalam sidang ini, lebih menyerupai dugaan yang dipaksakan daripada fakta hukum,” ucap Isabel di ruang persidangan.
Ia pun mengutip pesan moral dari ajaran Nabi Muhammad SAW, yang menekankan pentingnya kehati-hatian seorang hakim.
“Lebih baik seorang hakim keliru memaafkan daripada menghukum orang yang tidak bersalah. Karena menghukum orang benar, bukan hanya melukai dirinya, tapi juga merusak hukum itu sendiri,” kata Isabel.
Isabel menegaskan dirinya tidak pernah melakukan persekongkolan, dalam kerjasama operasi (KSO) antara PT. Bliss dan PT. Tripat. Ia menyebut tuduhan yang diarahkan kepadanya sebagai hal yang dipaksakan.
“Saya tidak pernah menjadikan PT. Bliss sebagai kendaraan pribadi untuk meraup keuntungan, apalagi menjanjikan sesuatu kepada pemerintah daerah. Semua proses bisnis kami dilakukan secara profesional,” tegasnya.
Menurut Isabel, klaim kerugian negara dalam perkara yang menjeratnya tidak berdasar. Sebab, tanah dan aset yang menjadi objek KSO bukan lagi milik negara/daerah, melainkan telah berstatus penyertaan saham.
“Kerugian yang disebut jaksa hanyalah potensi, bukan kerugian nyata,” tandasnya.
Lebih jauh, Isabel mengkritisi perhitungan kerugian negara yang dijadikan dasar tuntutan. Ia menyebut perhitungan itu tidak dilakukan oleh lembaga resmi negara, tidak melalui prosedur standar, dan cenderung dipaksakan.
“Fakta di persidangan justru menunjukkan PT. Tripat mendapat keuntungan besar, bahkan lebih dari Rp95 miliar dari adanya proyek ini. Jadi tuduhan saya memperkaya diri jelas tidak logis,” ujarnya.
Dengan nada getir, Isabel menyampaikan jika pihaknya justru mengalami kerugian besar akibat proyek tersebut, bahkan sampai harus menanggung beban hutang pribadi.
“Kalau saya benar punya niat jahat, untuk apa saya bersusah payah menyelesaikan pembangunan dan memberi jaminan pribadi ke bank? Justru saya yang dirugikan, bukan memperkaya diri,” tegasnya.
Isabel juga menyinggung soal keadilan hukum, yang seharusnya ditegakkan berdasarkan bukti kuat, bukan asumsi. “Apakah ini wajah hukum yang akan kita wariskan kepada generasi mendatang?” tuturnya dengan nada retoris.(djr)