Example floating
Example floating
BeritaEkonomi

LPNU NTB Ingatkan Ancaman Ritel Modern

193
×

LPNU NTB Ingatkan Ancaman Ritel Modern

Share this article
Herianto, Bendahara Lembaga Perekonomian Nahdlatul Ulama (LPNU) NTB
Herianto, Bendahara Lembaga Perekonomian Nahdlatul Ulama (LPNU) NTB.

Mataram — Perekonomian Nusa Tenggara Barat (NTB) mengalami kontraksi sebesar -0,82 persen pada triwulan II 2025. Capaian ini menempatkan NTB di posisi 37 dari 38 provinsi, hanya unggul tipis di atas Maluku yang tumbuh negatif lebih dalam. Data Badan Pusat Statistik (BPS) ini sekaligus menjadi peringatan serius bagi pemerintah daerah.

Kontras dengan NTB, Maluku Utara mencatat pertumbuhan tertinggi sebesar 32,09 persen dan Sulawesi Tengah tumbuh 7,95 persen.

Sorotan datang dari Herianto, Bendahara Lembaga Perekonomian Nahdlatul Ulama (LPNU) NTB. Ia menilai kontraksi ekonomi NTB bukan hanya akibat faktor eksternal, tetapi juga karena struktur ritel di hilir yang semakin timpang akibat dominasi minimarket berjaringan.

“Pemprov NTB harus segera menerapkan rem kebijakan pada ekspansi ritel modern. Tanpa langkah korektif, warung rakyat, kios pasar, dan UMKM akan makin terpinggirkan. Minus 0,82 persen adalah alarm kebijakan,” ujar Herianto, Selasa (23/9/2025).

Minimarket vs. UMKM: Persaingan Tak Seimbang

Menurut Herianto, ekspansi minimarket ke kawasan pemukiman dan dekat pasar tradisional membuat omzet UMKM turun drastis. Minimarket memiliki keunggulan pasokan, jam buka panjang, serta kekuatan harga yang sulit disaingi pelaku mikro.

Di sisi lain, sebagian besar produk yang dijual di minimarket bukan hasil produksi lokal. “Kue belanja rumah tangga bocor ke rantai pasok luar daerah. Uang warga tidak banyak berputar di desa/kelurahan. Dampaknya: tenaga kerja lokal tak terserap, margin UMKM menyusut, hingga daya beli masyarakat turun,” jelasnya.

Rekomendasi: Rem Ekspansi, Gas UMKM

LPNU NTB mendorong paket kebijakan campuran “Rem Ekspansi – Gas UMKM” yang dapat dilakukan Pemprov dan kabupaten/kota, antara lain:

  1. Moratorium izin baru di zona jenuh ritel.
  2. Zonasi & jarak minimum antar minimarket (radius 800 m – 1 km dari pasar tradisional/UMKM cluster).
  3. Kewajiban kemitraan & etalase lokal: minimarket wajib menampung produk UMKM NTB.
  4. Pengaturan jam operasional agar pasar tradisional tetap memiliki keunggulan waktu transaksi.
  5. Insentif untuk UMKM, seperti KUR plus pendampingan, digitalisasi pasar, dan target belanja produk lokal pemerintah.
  6. Task Force pengawasan perizinan lintas dinas.
  7. Studi dampak sosial-ekonomi sebagai syarat izin baru.

Mendesak untuk Ekonomi NTB

Herianto menegaskan, kontraksi PDRB NTB di triwulan II 2025 adalah sinyal bahaya. “Permintaan domestik di NTB tidak cukup kuat menopang pertumbuhan. Ketika hilir perdagangan tidak inklusif, multiplier effect mengecil. Menjaga keseimbangan pasar modern-tradisional adalah prasyarat pemulihan,” katanya.

Ia mendorong Pemprov NTB menggelar rapat kerja terbuka bersama pemda, asosiasi ritel, dan pedagang dalam waktu 90 hari. Targetnya: peta zona jenuh terbit, draf regulasi zonasi/kemitraan masuk konsultasi publik, dan pilot project etalase UMKM di 100 gerai pertama.

Ukur Hasil, Jangan Hanya Wacana

LPNU NTB menekankan perlunya indikator kinerja utama (IKU) yang dipantau per kuartal, meliputi:

  • Porsi produk UMKM NTB di jaringan minimarket.
  • Jumlah izin gerai baru vs. penolakan izin di zona jenuh.
  • Perubahan omzet pasar tradisional dan warung.
  • Serapan tenaga kerja lokal di gerai minimarket.
  • Pertumbuhan PDRB perdagangan serta pemulihan konsumsi rumah tangga.

“Kalau lima indikator itu bergerak, pertumbuhan ekonomi NTB akan ikut pulih. Tujuannya bukan anti-investasi, tapi menata ekosistem agar adil: investor tumbuh, rakyat kecil hidup,” pungkas Herianto.

Iklan Ikuti Saluran Lombok Fokus

Ikuti Saluran
Lombok Fokus

Ikuti di WhatsApp
Example 120x600
Example 120x600