Pada suatu kesempatan, penulis membuka Aplikasi Youtube, sebagaimana biasanya setiap kali hendak memutar video release berupa kajian, berita, atau berbagai video re-action dengan aplikasi tersebut.
Tanpa sengaja, satu dari beberapa video timeline adalah berisi wawancara dengan Ariel Vokalis Band Noah oleh sebuah podcast artis atau tokoh ternama. Secara pribadi, penulis jarang menonton secara sengaja video kategori hiburan, maka video tersebut adalah satu di antara sedikit yang pernah penulis tonton. Itu pun lantaran video yang terputar secara otomatis setiap kali lewat atau masuk timeline secara otomatis pengaturan internal aplikasi.
Dalam video tersebut, Ariel, yang diketahui bernama asli Nazriel Irham, panjang lebar menceritakan perjalanan karir musiknya khususnya tatkala tergabung dengan grup band yang dikenal sebelumnya bernama Peter Pan. Tidak hanya itu, fenomena bongkar pasang personil, termasuk berbagai dinamika, seperti terkadang terjadi persoalan antar personil mewarnai perjalanannya.
Menurut Ariel, nama grup yang dikenal sebagaimana populis saat ini tidak lepas dari berbagai persoalan juga. Di antara hikmah yang dapat dipetik adalah sebesar sesukses bagaimana dan sebesar apa pun nama berupa puji-pujian jangan membuat lupa diri dan tidak rendahbhati.
Kemudian, saat itu Ariel menceritakan bagaimana miskomunikasi antar personel serta kemudian tercetus kata, “Fir’aun”. Ariel mengatakan, “jangan-jangan awalnya Fir’aun banyak yang muji, eh, lo hebat ya lo gini gini gini.” “akhirnya Fir’aun mikir, iya ya, jangan-jangan gue tuhan.” Kira Ariel.
Dari fenomena ini, penulis menangkap beberapa hal;
Pertama, mengemukanya narasi teologis. Berbagai fenomena dalam arus besar belakang terjadi seperti hijrah di kalangan selebriti adalah contoh menguatnya semangat beragama. Hal ini diakui atau tidak berimbas pada berbagai pola kehidupan masyarakat secara luas, termasuk di kalangan selebriti. Hal atau perilaku yang dulunya asing dengan dunia hiburan justru mewarnai dan menjadi bagian tak terpisahkan. Dan banyak contoh positif dalam hal ini.
Kedua, masih berkaitan dengan poin pertama, yaitu ada semangat untuk kembali kepada ajaran yang kebenaran yaitu agama yang berpedoman pada kitab suci yang sesungguhnya. Implementasi semangat ini dapat ditemukan dalam cara hidup, pergaulan bahkan dalam memandang kehidupan. Pada kondisi ini, terjadilah pergeseran gaya hidup berikut cara pikir, yang tidak lain merupakan revolusi paradigma yang sesungguhnya.
Ketiga, dunia menuju ke realita yang sesungguhnya. Berbagai cara hidup yang dahulu sebagai kebiasaan yang tidak begitu mengakar akan hilang dengan yang lebih kuat dari itu, menjadi bukti dunia sedang menuju ke kehakikatannya. Tatakrama atau rasa segan terhadap beberapa aturan perlahan terganti dengan tata cara yang diakui secara literatur lebih luhur.
Pengambilan contoh di atas, atau menggali hikmah dan keterkaitan keduanya, tidak dimaksudkan secara sengaja. Namun, menjadi menarik ketika dihibungkan dengan berbagai fenomena yang mencolok, atau kian hari kian kentara usaha perubahannya, yang bahkan mungkin tidak pernah terpikir sebelumnya.
Oleh: Nazwar, S. Fil. I., M. Phil
Penulis Lepas Yogyakarta