Scroll untuk baca artikel
ArtikelBerita

23 Tahun Tailing Dibuang Ke Laut, Bagaimana Nasib Masyarakat Lokal dan Sumbawa

804
×

23 Tahun Tailing Dibuang Ke Laut, Bagaimana Nasib Masyarakat Lokal dan Sumbawa

Sebarkan artikel ini
 

Ketika Tambang PERAWANI Hutan Sumbawa
Penulis : Sendi Akramullah
Peneliti sekaligus pegiat lingkungan di NTB

Bukit luluh lantak. Pohon-pohon besar bertumbangan di hutan Blok Elang. Masyarakat lazim menyebutnya Dodo-Rinti. Truk-truk mondar-mandir mengangkut tanah yang sudah dikeruk untuk dijadikan lokasi tambang Mineral dan Logam. Hutan itulah yang menjadi jantung Kabupaten Sumbawa. Setidaknya ada 6 Kecamatan yang masuk dalam daerah konsesi tambang yang digawangi oleh PT. AMNT meliputi Kecamatan Ropang, Lunyuk, Lenangguar, Orong Telu, Lantung, dan Moyo Hulu.

Ruang hidup Orang Lawin dan sekitarnya, yang hidup dari hasil hutan pun mulai tersingkir.
Januari 2022 di Desa Lawin kami bertemu dengan Kepala Desa, Tokoh adat, dan masyarakat Lawin. Mereka adalah sedikit dari sekian banyak masyarakat Lawin yang merasakan dampak keberadaan Tambang di sekitar Desa mereka. Menginap selama 1 malam cukup bagi saya untuk mendengarkan cerita-cerita setelah keberadaan tambang.

Melihat hutan telah gundul, Riko sangat sedih. Mengingat itu adalah tempat bagi masyarakat
mencari penghidupan kala menunggu kopi mereka siap panen.

Blok Elang Dodo Rinti (Ropang), Sumbawa bagaikan madu bagi pengusaha tambang.
Kabupaten seluas 656.690,98 hektar ini dikuasai oleh sektor pertambangan seluas 30.580,5
hektar alias 4,65% dari total luas daerah secara keseluruhan. Potensi mineral di Blok Elang
diperkirakan lebih besar dibandingkan dengan yang sudah ditemukan di Batu Hijau yang kini
sedang dieksploitasi. Potensi yang ada di Blok Elang diperkirakan sebanyak 19 juta ons emas
(satu ons setara dengan 31,1 gram) dan 18 miliar pound tembaga (satu pound setara 0,5
kilogram).

PT. Amman Mineral Nusa Tenggara (AMNT), Salah satu pengelola tambang emas dan mineral di Kabupaten Sumbawa, dam mulai melakukan ekspansi dari Kabupaten Sumbawa Barat ke Kabupaten Sumbawa (Blok Elang Dodo) dan melakukan pengeboran awal sebanyak 50 titik dengan luas 17.000 meter.
Perusahaan ini adalah perusahaan nasional yang saham mayoritasnya di pegang oleh PT. Amman Mineral Internasional sebesar 82,2% kepemilikan saham dan PT. Pukuafu Indah sebagai pemegang saham sebanyak 17,8%. PT. AMI adalah perusahaan Indonesia yang pemegang sahamnya yakni AP Investment dan Medco Energi. Perusahaan ini juga didukung oleh sebuah konsorsium perbankan Indonesia dan Internasional. Diwartakan Bloomberg perusahaan ini akan segera melakukan IPO raksasa dengan target penggalangan dirumorkan mencapai US$ 1 miliar
atau setara Rp. 15 triliun ( asumsi kurs Rp 15.000/US$).

Dalam Sembilan bulan pertama di tahun ini perusahaan tersebut mencatatkan kinerja yang cukup fantastis, perusahaan tersebut mencatatkan kenaikan penjualan hingga 121% artinya sebesar US$ 1,98 miliar (Rp. 29,65 triliun). Dengan laba bersih perusahaan yang juga meroket 253% selama periode yang sama menjadi US$ 748 juta (Rp. 11,22 triliun). Kenaikan tersebut terjadi karena volume penjualan yang meningkat tajam.
Data Geoportal Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral di Sumbawa Menunjukkan, lima perusahaan sudah pada tahapan operasi produksi mineral dan logam. Antara lain PT. Amman Mineral Nusa Tenggara (AMNT), PT. Sumbawa Juta Raya (SJR), PT. Asia Pasifik Aristama Entebe, PT. Ngali Sumbawa Mining, dan PT. Mitra Indomas Pertiwi.
Data Geoportal ESDM mencatat, izin konsesi AMNT terluas mencapai 25.000 hektar mencakup Kabupaten Sumbawa dan Kabupaten Sumbawa Barat.

Perda RTRW akomodir industry tambang mineral dan logam?

Paradigma Indonesia peroleh dokumen perda rencana tata ruang wilayah Kabupaten Sumbawa 2012-2031. Dalam Perda nomor 10 tahun 2012 tentang rencana tata ruang wilayah Kabupaten Sumbawa terdapat beberapa wilayah yang masuk dalam kawasan peruntukan pertambangan mineral dan logam yakni Kecamatan Lunyuk, Orong Telu, Ropang, Lantung, Lenangguar, Batu Lanteh, dan Kecamatan Moyo Hulu.

Sementara menurut Sendi Akramullah yang merupakan Direktur sekaligus founder
Paradigma Indonesia, alih fungsi kawasan hutan menyebabkan masyarakat yang hidup sekitar hutan seperti Ropang dan daerah sekitarnya, tersisih. Hutan yang selama ini dijadikan ruang hidup bagi masyarakat setempat tidak bisa diakses lagi. Hewan buruan dan pangan lokal nyaris lenyap. Dalam kawasan hutan yang merupakan jantung dan menjadi pusat mata air Kabupaten
Sumbawa itu juga sebagai sumber air bagi dua bendungan kini dikuasai oleh dua perusahaan
besar yakni PT. AMNT dan PT. Sumbawa Juta Raya.

Kabupaten Sumbawa sendiri memiliki deposit sumberdaya mineral potensial yang yang
diperkirakan terdiri dari emas (180 ribu m3), tembaga (1,575 juta m3), dan pasir besi (304,5 m3). Berdasarkan hasil penelitian, kandungan emas dan tembaga terbesar berada di blok elang yang sekarang masih dalam tahap eksplorasi oleh PT. AMNT. Dengan potensi besar yang dimiliki tersebut tentu menjadi ancaman bagi masyarakat sekitar dan secara keselurahan masyarakat Kabupaten Sumbawa. Kata pria yang juga koordinator INFOKOM Perhimpunan Pembela Masyarakat Adat Nusantara (PPMAN) Nusa Tenggara Barat ini.

Terkait pertambangan, pemerintah berdalih sulit mencampuri karena IUP melekat pada
pemerintah pusat. Disebutkan, UU No. 3/2020 tentang Perubahan atas UU No. 4/2009 tentang
Pertambangan Mineral dan Batubara belum memiliki peraturan pemerintah secara teknis.

Deforestasi dan Bencana Mengancam

Provinsi di ujung timur Indonesia ini menjadi primadona karena kekakayaan alam yang
dimilikinya. Di dalam perut bumi terdapat berbagai jenis kekayaan alam seperti emas, tembaga, pasir besi, mangaan dan lain-lain.
Data Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral tahun 2021, konsesi pertambangan mencapai
128.344 hektar, baik dalam bentuk IUP maupun IPR. Untuk Kabupaten Sumbawa dan KSB
masing-masing memiliki IUP-IPR sebanyak 43 dan 16, dengan total luas lahan masing-masing
40.411,92 hektar dan 48.244,79 hektar.

READ  Mi6 : Penjabat Kepala Daerah tahun 2023 di NTB Wajib Sosok yang Netral

Sementara itu, laju deforestasi di NTB kian meningkat dari tahun ketahun. Menurut data WALHI NTB kerusakan hutan atau deforestasi di NTB sendiri mencapai 200 hektar per tahun.
Sebagai catatan singkat, NTB sebagai provinsi yang memiliki luas kawasan hutan berdasarkan hasil tata batas tercatat ±1.070.000 ha atau mencapai 53% dari luas wilayah daratan NTB (Hakim, 2013, p. 6).

Namun, seiring berjalannya waktu, luas kawasan hutan kini mulai masuk dalam status kritis. Berdasarkan dokumen laporan lahan kritis di NTB pada tahun 2018, setidaknya terdapat 59.602 lahan kritis dan 6.173
lahan sangat kritis. Dimana kedua kategori lahan kritis dan sangat kritis terakumulasi dari luar kawasan, hutan produksi, hutan lindung, dan hutan konservasi.

Pada grafik di atas melaporkan bahwa terdapat dua kategori lahan ‘kritis’ dan ‘sangat kritis’. Lahan kritis yang paling tinggi terletak di Sumbawa, baik yang berada di luar kawasan (9528), hutan produksi (7309), dan juga hutan lindung (5667). Kemudian, kategori lahan kritis terletak di dua kabupaten yaitu Bima
dengan lahan kritis terjadi pada hutan konservasi (4483) dan juga Sumbawa Barat berada di hutan produksi (1303). Selain itu, beberapa daerah lain pun memiliki lahan kritis dan lahan sangat kritis yang berada pada luar kawasan, hutan produksi, hutan lindung, dan hutan konservasi. Atas dasar krisis lahan
hutan di NTB.

Setidaknya sampai saat ini total kerusakan hutan NTB lebih dari 40 persen dari luas hutan
sebanyak 1 juta hektar, dengan luas tutupan lahan sebesar 22 persen. Dari data yang
dikumpulkan Paradigma Indonesia Deforestasi Kabupaten Sumbawa, Nusa Tenggara Barat dari
2001-2021 juga menunjukkan angka yang memprihatinkan sekitar >40.000 kali lapangan sepak bola hilang dalam 20 tahun atau >18.000 kali lapangan sepak bola dalam 5 tahun terakhir.

Tingginya angka deforestasi menjadi pemicu krisis iklim di Sumbawa, akibatnya hampir semua wilayah di Sumbawa terdampak bencana krisis iklim. Perlu diketahui bersama, areal pertambangan yang digawangi oleh dua perusahaan besar (AMNT dan SJR) beroperasi di sekitar DAS Moyo. DAS Moyo sendiri merupakan penyangga kehidupan bagi sebagian besar Masyarakat Sumbawa. Ada sekitar 17.000 hektar lahan kritis dengan tutupan hutan yang minim di sepanjang DAS moyo ini. Hal ini sangat berdampak pada kurangnya pasokan air ke bendungan, yang secara otomatis mengakibatkan kekeringan pada lahan pertanian. Pada
akhirnya, kondisi tersebut dapat menyebabkan kondisi alam yang tidak seimbang seperti; banjir di musim hujan dan kekeringan di musim kemarau. Sehingga kondisi itu berdampak langsung pada perekonomian masyarakat sekitar yang hidupnya bergantung pada hasil pertanian.

Sebagai Contoh kasus, pada tahun 2017 sebanyak 4 kecamatan di Kabupaten Sumbawa yang berada di Sepanjang DAS Moyo terdampak banjir yakni Kecamatan Moyo Hilir, Moyo Utara, Unter Iwes, dan Kecamatan Sumbawa dengan jumlah masyarakat terdampak sebanyak 40.291 jiwa (data BPBD Kab. Sumbawa). Kemudian pada Oktober 2022 lalu, bencana banjir dan longsor kembali terjadi di Kecamatan Lunyuk, yang merupakan salah satu wilayah dalam peta konsesi tambang dibawah komando PT. Amman Mineral Nusa Tenggara. Banjir tersebut terdampak pada 1345 KK atau 4.035 jiwa, dengan ketinggian air mencapai 2 meter. Selain daripada itu bencana alam itu juga mengakibatkan beberapa infrastruktur seperti talang saluran irigasi dan jalan rusak parah.

Bulkiah, warga desa Emang Lestari mengatakan, Air sungai kerap kali meluap, hampir saban tahun setelah adanya aktivitas pertambangan dan kegiatan pembukaan lahan pertanian, serta pembalakan liar keluhnya. Ketua Kelompok Pemuda Sadar Wisata Kecamatan Lunyuk ini sangat khawatir dengan kondisi kampung halamannya yang semakin hari semakin sering terjadi bencana ekologis dan perubahan iklim. “Kehadiran Pertambangan ini sangat berdampak terhadap
berbagai aspek kehidupan, baik social, budaya, dan lingkungan hidup. Itu tidak dipikirkan oleh
pemerintah pusat dan daerah. Mereka hanya memikirkan keuntungan dan nilai ekonomis
semata.” Imbuhnya.

Sedang pada musim kemarau, seperti yang disampaikan diatas Kabupaten Sumbawa saban
tahunnya mengalami kekeringan baik untuk kebutuhan irigasi lahan pertanian maupun kebutuhan air bersih. Data balai PSDA dan Hidrologi Wilayah Sungai Pulau Sumbawa, pada tahun 2019 dua bendungan besar yakni bendungan Batu Bulan dan bendungan Mamak mengalami elevasi debit air dibawah batas minimal. Tingkat elevasi bendungan Batu Bulan berada pada angka 50,78 meter di bawah batas minimal 52 meter. Kemudian untuk bendungan Mamak debit elevasi 72 dibawah batas minimal 74 meter.

Selanjutnya pada Agustus 2022, 43 Desa yang tersebar di 17 Kecamatan di Sumbawa mengalami krisis air bersih akibat kekeringan. Sebanyak 69.668 penduduk 43 Desa itu terhambat aktivitasnya. Seperti mandi, cuci pakaian, cuci piring, minuman ternak, bahkan untuk minum dan masak masyarakat membutuhkan bantuan air bersih dari pemerintah setempat.

Bukankah dari beberapa bencana ekologis dan krisis iklim diatas cukup menjadi bukti bahwa
kerusakan hutan dan keberadaan tambang sangat mempengaruhi ekosistem alam. Karena
memang sejak awal tambang tidak pernah memberikan kesejahteraan, entah itu tambang milik asing maupun nasional.

37 Tahun Newmont atau Amman Mineral Nusa Tenggara Jarah Hutan Sumbawa;
Bagaimana Nasib Masyarakat Lokal dan Lingkungan?

READ  316.554 Orang Pelamar Lulus Seleksi Administrasi CPNS Kemenkumham

Sejak beroperasi 37 tahun lalu di tanah Sumbawa, PT. Newmont Nusa Tenggara yang sekarang beralih menjadi PT. Amman Mineral Nusa Tenggara terus meninggalkan jejak kejahatan terhadap manusia dan lingkungan hidup. Setelah membongkar gunung, hutan, dan melubangi tahan Sumbawa, hingga sampai ada korban jiwa, operasi AMNT atau apapun perusahaan ini disebut telah meracuni sungai-sungai hingga laut dengan jutaan limbah tailing. Salah satu sungai yang terdampak adalah sungai sejorong pada 2017 lalu

Masyarakat malah ditambah menderita alih-alih sejahtera. Namun, rentetan aktivitas
kejahatan yang dilakukan oleh perusahaan tambang nomor dua terbesar di Indonesia ini
diabaikan oleh negara maupun AMNT sendiri. Sejauh ini AMNT tampak hanya menggunakan
peta wilayah konsesinya sebagai dasar pemberian kompensasi terhadap warga terdampak, enggan bertanggung jawab atas kesejahteraan seluruh masyarakat Sumbawa baik Kabupaten Sumbawa maupun Kabupaten Sumbawa Barat.

Hal tersebut dapat dibuktikan melalui data-data tentang Indeks Pembangunan Manusia
Kabupaten Sumbawa yang masih rendah, juga laju kemiskinan ekstrem dan stunting. Diketahui saat ini Kabupaten Sumbawa menjadi salah satu daerah dengan angka kemiskinan ekstrem dan stunting yang tinggi di wilayah Timur Indonesia. Berdasarkan data, jumlah penduduk miskin ekstrem di Kabupaten Sumbawa sebanyak 15.370 jiwa atau 3,20 persen. Kemudian, prevalensi stunting sebesar 29,7 persen atau 12.765 balita (data SSGI, 2021).
Selain dari data diatas, juga diperkuat oleh data-data dari berbagai NGO baik lokal,
nasional, maupun internasional. Menurut laporan dari NGO lokal, NTB masih memiliki angka kemiskinan yang tinggi. Pada tahun 2022, sekitar 13,82% penduduk NTB masih miskin.

Selain itu data Bappeda Provinsi NTB menyebut masih ada 477.954 kepala keluarga dan 1.864.812 individu yang masuk ke dalam kemiskinan ekstrem Sebanyak 1.864.812 jiwa di Provinsi NTB masuk kategori kemiskinan ekstrem. Jumlah ini setara dengan 34 persen dari total penduduk NTB sebanyak 5,47 juta
jiwa.

Pada tahun sebelumnya data Oxfam Indonesia juga menunjukkan bahwa pada tahun
2021, sekitar 33,8% penduduk NTB hidup di bawah garis kemiskinan. Ini merupakan masalah yang sangat serius, mengingat NTB memiliki potensi pariwisata yang menjanjikan. Data lain dari International Labour Organization (ILO) pada tahun 2019, tingkat pengangguran di NTB mencapai 7,6%. Bahkan, tingkat pengangguran di antara pemuda di NTB juga termasuk yang tertinggi di Indonesia.

Saya juga mengecek data dari Human Development Index (HDI) Report 2021. Data ini
memperlihatkan bahwa indeks pembangunan manusia NTB berada di posisi 0,625, yang
menempatkannya pada peringkat ke-24 dari 34 provinsi di Indonesia. Selain itu, Save the
Children Indonesia pada tahun 2021 merilis sekitar 51,2% anak-anak di NTB mengalami
stunting. Hal ini mengindikasikan bahwa kondisi gizi anak-anak di wilayah tersebut masih sangat memprihatinkan.

Selain dampak terhadap lingkungan dan masyarakat, aktivitas pertambangan dan
perluasan areal hutan juga berdampak pada produksi rumput laut dan keanekaragaman hayati di

wilayah NTB. Menurut data dari Kementerian Kelautan dan Perikanan pada tahun 2022,
kerusakan hutan oleh aktivitas tambang dan perluasan areal pertanian dapat mengurangi produksirumput laut hingga 20%. Aktivitas pertambangan dan perluasan areal pertanian juga dapat mengurangi keanekaragaman hayati. Data dari Wildlife Conservation Society (WCS) Indonesia pada tahun 2022 menunjukkan bahwa sekitar 30% dari spesies burung dan mamalia di NTB
terancam punah akibat kerusakan hutan dan perusakan habitatnya.

Hilangnya keanekaragaman hayati dan kerusakan ekosistem laut juga diperparah oleh
sistem pembuangan limbah tailing yang digunakan oleh perusahaan tambang yakni PT.AMNT.

Adapun sistem yang digunakan disebut DSTP (Deep Sea Tailings Placement) atau penempatan
tailing di laut dalam. Berdasarkan rencana perusahaan menurut dokumen pemaparan, tailing dialirkan melalui pipa darat sepanjang 6 km dan pipa laut sepanjang 3,2 km, kemudian
dilepaskan pada kedalaman 125 m di bawah permukaan laut yang berlokasi di hulu Ngarai
Senunu. Tailing ‘diklaim’ akan mengalir di dasar ngarai dan bagian terbesar akan mengendap pada kedalaman > 3000 m di bawah permukaan laut.

 

Sistem diatas hampir sama dengan sistem yang digunakan oleh perusahaan sebelumnya yang
disebut STD (Submarine Tailing Disposal). Katup pengaman STD yang diyakini perusahaan
pertambangan adalah lapisan termoklin (Baca Mitos versus Fakta STD). Lapisan itu dipandang
mampu menghalangi munculnya tailing ke permukaan. Di Indonesia, STD pertama kali
digunakan oleh PT. Newmont Minahasa Raya (NMR) di Minahasa, Sulawesi Utara. Kemudian
diikuti oleh PT. Newmont Nusa Tenggara (NNT) di Sumbawa Nusa Tenggara Barat yang
sekarang berubah nama menjadi PT. AMNT dibawah Group Medco Energy. Mineral utama yang di tambang AMNT adalah emas, perak, dan tembaga. Kedua system tersebut pada dasarnya sama karena sama-sama membuang limbah tailing ke laut.

Secara teoritis asumsi perusahaan bisa saja mengatakan bahwa pengelolaan limbah tailing
seperti itu aman. Namun, yang terjadi di lokasi PT. AMNT menunjukkan tingkat keakuratan
asumsi dan dan teknologi yang digunakan diragukan. Beberapa kali kejadian banyak ikan mati di areal sekitar jalur pipa pembuangan tailing yakni seperti yang terjadi di sungai sejorong yang disebabkan kebocoran pipa pembuangan tailing dan overflow. Dilansir Jatam, Selain itu, beberapa ilmuwan mengingatkan kepada Pemerintah terkait fenomena Upwelling atau proses dimana air laut dingin yang berasal dari dalam naik ke permukaan laut.

READ  Pasca Pemilu 2019 , Pengurus Cabang NW Sabelia Mengajak Jama'ahnya Menjaga Persaudaraan


Diminta pendapatnya oleh Jatam, ahli kelautan fisik John Luick yang aktif meneliti sistem pembuangan limbah tailing ke laut dalam di seluruh dunia, dalam emailnya kepada Mongabay ketika ditanya terkait tambang di Sulawesi Tengah yang menerapkan pola yang sama menyebut “[data ini] tidak akan memberi saya rasa percaya diri, jika saya misalnya yang
ditunjuk untuk bertindak sebagai pihak yang bertanggung jawab untuk menerbitkan izin.”

Dia menyebut, presentasi yang dikirimkan kepadanya tidak termasuk data salinitas, yang
diperlukan untuk menilai risiko upwelling menyebarkan tailing secara tidak terkendali. “Sejauh yang kita tahu, gradien kepadatan, yang menekan di atas, bisa nihil,” kata Luick.

“Saya tidak bisa percaya sepenuhnya pada hasil dari salah satu model hidrodinamik [termasuk yang ada dalam
presentasi].” Di sisi lain, dalam kajiannya, Walhi, mengatakan kehidupan laut menurun di
sepanjang pantai tambang Batu Hijau di Sumbawa (NTB) antara tahun 2006 dan 2010.

Berdasarkan dokumen pemaparan AMNT, pada tahun 2020 jumlah limbah tailing yang
dibuang ke laut hasil dari kegiatan produksi di site Batu hijau mencapai 34.315.738,38 Ton.

Tidak hanya berhenti disitu. Masalah demi masalah terus timbul akibat keberadaan Tambang.

Contohnya konflik Masyarakat Adat Cek Bocek dan perusahaan tambang. Konflik yang terjadi
dimulai tahun 1986 disaat survei regional pertama PT.Newmont di blok elang dodo, yang
menemukan indikasi emas, dimana kehidupan Komunitas Adat Selesek Reen Suri sedang
melakukan aktivitas bajalit “ produksi gula merah” di hentikan oleh pemerintah desa Lebangkar karena ada aktvitas survei diminta agar masyarakat yang melakukan aktivitas bajalit untuk mengosongkan lapangan. Sehingga warga adat yang aktif melakukan aktivitas Bajalit tersebut berhenti untuk meninggalkan jalid atas perintah pemerintah desa Lebangkar Syamsuddin Mursyid.

Adapun jumlah titik jalit 150 titik jalid yang tersebar dalam wilayah adat. Kegiatan
aktivitas bajalid ini semenjak dilakukan sebelum warga adat pindah dari kampung lama Selesek, Sury, Dodo pada tahun 1935 di desa Lawin dan setelah menetap di Lawin pada tahun 1935- 1986 bahwa aktivitas Bajalid tetap dilakukan oleh warga adat. Namun semenjak ada masuknya PT.NNT melakukan survey maka seluruh aktivitas Bajalid tersebut berhenti untuk sementara.

 

Di waktu saat Bajalid para tenaga Survey PT.NNT sering singgah di wilayah titik jalid seperti ada yang namanya pak Torik sempat minum air titik Jalid bahkan bincang-bincang dengan warga adat menceritakan tentang suburnya wilayah blok elang dodo dan kuburan-kuburan tua tetap dipelihara oleh masyarakat.

Aktivitas Bajalid berhenti sebagian semenjak dari tahun 1986 sampai pada tahun 1996, dari 150 titik jalid hanya yang tersisa dekat kampung Lawin saja atau sekitar areal kampung, seperti jalid pk A. Wahab, pak Safiolah. Namun aktivitas warga adat dalam bentuk lainnya seperti biasa dijalankan, tetap mencari madu, berburu, petik kemiri di kebun tua (kebun leluhur), ziarah makam leluhur. Kegiatan-kegiatan lain tidak putus sampai disaat komunitas adat tidak bisa lagi
akses bebas dalam wilayah adat mereka semenjak Base Camp PT.NNT dibakar oleh masyarakat pada tahun 2006.

Base Camp PT.NNT semenjak diketahui oleh warga adat tiba-tiba berdiri di atas wilayah adat
(Blok Elang Dodo) semenjak pada tahun 2003 tepatnya di blok dodo (kampung lama) di areal
perkebunan/persawahan H.Damhuji. Protes masyarakat mulai kencang baik warga adat yang di Desa Lebangkar dan Lawin bahwa tidak menginginkan lokasi tersebut dijadikan areal
pertambangan apa lagi nambang di atas kuburan leluhur. Namun sampai saat ini Tambang terus melakukan aktivitasnya di tanah tersebut dibawah bendera PT. AMNT yang dulu PT. NNT, tanpa memperhatikan hak-hak masyarkat adat dan lokal baik Kabupaten Sumbawa maupun Sumbawa Barat.

Hal tersebut dibuktikan dengan aksi demonstrasi yang dilakukan masyarakat serta mahasiswa di segala titik di Indonesia yang menolak keberadaan AMNT dan diduga kuat telah melakukan pelanggaran HAM dalam aktifitas penambangannya selama ini. Selain itu, Sistem penyaluran Corporate Social Responsibility korporasi besar tersebut dilakukan secara tertutup. Masyarakat
setempat tidak merasakan dampak dari adanya anggaran CSR tersebut. PT. AMNT sendiri
mengklaim bahwa penyaluran CSR sudah dilakukan dengan jumlah realisasi pada tahun 2022 sebesar Rp. 102.119.979.970 Padahal masyarakat setempat menyampaikan fakta bahwa tidak pernah melihat bentuk dari penyaluran dana CSR tersebut, baik dalam bentuk fisik maupun pemberdayaan secara langsung.

Untuk diketahui anggaran CSR PT. AMNT pada tahun 2022 sebesar Rp. 132.034.406.420 Sementara itu, tim Paradigma Indonesia menemukan data lapangan terkait realisasi CSR PT. AMNT yang hanya sebesar Rp. 25.086.505.687,60 artinya ada sekitar
106 milyar yang belum disalurkan ke masyarakat dari total keselurahan anggaran CSR.

Selain masalah anggaran CSR, PT. AMNT juga belum melakukan pembayaran bagian
pemerintah daerah atas keuntungan bersih yang diperoleh PT. AMNT dalam hal ini Kabupaten Sumbawa Barat sebagai daerah penghasil kurang lebih sebesar Rp. 100 milyar (Pemaparan KPK). Tentu ini menjadi masalah, mengingat uang tersebut sangat berguna untuk
keberlangsungan pembangunan daerah dan masyarakat setempat.

Dari hal-hal diatas, dapat disimpulkan bahwa sektor Pertambangan tidak mampu memberikan kesejahteraan dan kehidupan yang layak bagi masyarakat lokal baik di Kabupaten Sumbawa maupun Sumbawa barat

(Bersambung)

 

 

 

 

 

Berlangganan Yes No thanks